Bulan
Ramadhan selain bulan yang penuh berkah sebenarnya mempunyai beberapa
nama julukan. Nama-nama itu merefleksikan makna keberkahan Ramadhan yang
dapat diraih bagi yang menjalaninya dengan benar. Tulisan ini
sebenarnya ulasan dari suatu artikel yang saya baca setahun yang lalu di
beberapa situs Internet yang menjelaskan nama-nama lain bulan Ramadhan.
Tapi, meskipun informasinya sudah beredar lama di masyarakat, tidak ada
salahnya juga kan kalau kita mengingat kembali makna dan hikmah
nama-nama bulan Ramadhan yang dikenal Umat Islam.
Bagi
Umat Islam, pengidentifikasian nama-nama bulan Ramadhan dengan berbagai
sinonimnya sebenarnya mengandung maksud. Nama-nama itu diungkapkan
dengan singkat dan tepat sebagai “pengingat cepat atau penggugah” dan
“keywords” tentang apa yang sebaiknya dilakukan di bulan tersebut.
Selain itu, nama-nama bulan Ramadhan juga menyatakan berkah dan
maghfirah yang dapat diraih pada kondisi dan suasana paling baik selama
satu tahun ke belakang dan ke depan (Ramadhan tahun depan seandainya
masih bisa diberi umur).
Demikian
banyaknya keutamaan dan peluang untuk berubah di hadapan Allah SWT di
bulan Ramadhan ini hingga bulan Ramadhan sering dikiaskan dengan
perumpamaan Tamu Agung yang istimewa. Perumpamaan dan
keistimewaan itu tidak saja menunjukkan kesakralannya dibandingkan
dengan bulan lain. Namun, mengandung suatu pengertian yang lebih nyata
pada aspek penting adanya peluang bagi pendidikan manusia secara lahir
dan batin untuk meningkatkan kualitas ruhani maupun jasmaninya seoanjang
hidupnya.
Karena itu, Bulan Ramadhan dapat disebut sebagai Syahrut Tarbiyah atau Bulan Pendidikan.
Penekanan pada kata Pendidikan ini menjadi penting karena pada bulan
ini kita dididik langsung oleh Allah SWT. Pendidikan itu meliputi
aktivitas yang sebenarnya bersifat umum seperti makan pada waktunya
sehingga kesehatan kita terjaga. Atau kita diajarkan oleh supaya bisa
mengatur waktu dalam kehidupan kita. Kapan waktu makan, kapan waktu
bekerja, kapan waktu istirahat dan kapan waktu ibadah. Jadi, pendidikan
itu berhubungan langsung dengan penataan kembali kehidupan kita di
segala bidang.
Menata
kehidupan sesungguhnya bagian dari proses mawas diri atau introspeksi.
Jadi, bulan Ramadhan sesungguhnya bulan terbaik sebagai masa mawas diri
yang intensif. Proses mawas diri melibatkan evaluasi diri ke wilayah
kedalaman jiwa untuk dinyatakan kembali dalam keseharian sebagai akhlak
dan perilaku mulai yang membumi. Tentunya evaluasi ini didasarkan atas
pengalaman hidup sebelumnya yaitu pengalaman atas semua peristiwa dan
perilaku sebelas bulan sebelumnya sebagai ladang maghfirah yang sudah
disemai dan ditanami pohon benih-benih perbuatan. Selain itu, evaluasi
juga mencakup taksiran untuk kehidupan di masa depan, baik di dunia
maupun di akhirat nanti.
Pada
masa Rasulullah peperangan fisik banyak terjadi pada bulan Ramadhan dan
itu semua dimenangkan kaum muslimin. Peperangan fisik di masa
Rasulullah adalah suatu keharusan yang tidak dapat ditolak karena
situasi dan kondisi yang dihadapi saat itu. Namun, seperti diungkapkan
dalam hadis Nabi seusai Perang Badar, yang paling berat adalah
peperangan kita untuk berjihad melawan hawa nafsu sendiri. Karena itu
bulan Ramadhan sering disebut sebagai Syahrul Jihad dengan fokus pada pengendalian hawa nafsu diri sendiri (yaitu Wa Nafsi, simak QS 91:7).
Jihad
melawan nafsu adalah ungkapan untuk menyucikan dan memurnikan nafsu
kita untuk kembali semurni-murninya, yaitu dalam keadaan fitri. Ungkapan
ini sebenarnya berasal dari firman Allah dalam QS 91:7-10 dan beberapa
ayat lainnya yang berbunyi senada yaitu menyucikan jiwa. Menyucikan Jiwa
adalah syarat yang mengiringi proses awal penerimaan wahyu yaitu IQRA
(simak QS 96:1-5). Hal ini tentunya erat kaitannya dengan buah dari
pendidikan jiwa secara intuitif maupun intelektual murni (atau intelek
awal), dengan rasionalitas dan penyingkapan tabir-tabir gelap jiwa kita
yang sejatinya “Ummi” dan “Fakir” di hadapan Allah, Rabbul ‘Aalamin
(Pencipta, Pemelihara dan Pendidik semua makhlukNya).
Dari
kedua pengertian nama bulan Ramadhan sebagai Bulan Pendidikan dan Bulan
Jihad Melawan hawa nafsu tersebut, maka terungkaplah kemudian nama
bulan Ramadhan sebagai Syahrul Qur’an. Al-Qur’an
pertama sekali diturunkan di bulan Ramadhan dan pada bulan ini sebaiknya
kita banyak membaca dan mengkaji kandungan Al-Qur’an sehingga kita
faham dan mengerti perintah Allah yang terkandung di dalamnya.
Karenanya, penamaan Syahrul Tarbiyah dan Syahrul Jihad sebenarnya
berhubungan dengan suatu prakondisi sebelum Nabi Muhammad SAW menerima
al-Qur’an sebagai Wahyu yang diwahyukan. Dalam konteks ini maka bulan
Ramadhan sebagai Syahrul Qur’an sebenarnya merupakan peluang bagi semua
Umat Islam yang bersyahadat dengan Nama Muhammad untuk mengkaji dan
menggali nilai-nilai spiritual al-Qur’an untuk dinyatakan menjadi akhlak
mulia alias akhlak Muhammad alias akhlak Qur’ani.
Pendek
kata, Bulan Ramadhan sebenarnya merupakan napak tilas bagi semua Umat
Islam untuk memakrifati perjanjiannya dengan Allah SWT (syahadatnya)
sebagai manusia yang dilahirkan dan berkembang untuk menjalani hidup
dengan kesadaran kudus. Napak tilas ini dilakukan lebih intim di Bulan
Ramadhan dimana Umat Islam diharapkan dapat mengalami keadaan jasmani
dan ruhani yang mirip dengan yang dialami Nabi Muhammad SAW ketika Al
Qur’an turun ke Bumi. Inilah rahasianya kenapa di bulan ini ada yang
disebut penyendirian total dengan I’tikaf di masjid pada 10 terakhir
bulan Ramadhan dan ada malam Lailatul Qadar atau malam 1000 bulan.
Karena itu, menurut saya, Ramadhan dapat disebut juga sebagai bulan
napak tilas Nuzulul Qur’an dan Pemurnian Pengetahuan Tauhid dengan Aslim dan Islam yang
lurus seperti halnya moyang Nabi Muhammad SAW dulu yaitu Ibrahim a.s
yang memenggal kepala berhala yang dipuja kaumnya. Dari sini makna jihad
melawan hawa nafsu pun dapat diungkapkan kembali sebagai jihad untuk
memenggal kepala berhala-berhala hawa nafsu yang masih bercokol di dalam
hati Umat Islam.
Selain
prosesi yang bersifat keruhanian dengan pendidikan dan penerapan
praktisnya, di bulan Ramadhan kita merasakan sekali suasana ukhuwah
diantara kaum muslimin terjalin sangat erat dengan selalu berinteraksi
di Masjid/Mushollah untuk melakkukan sholat berjama’ah. Dan diantara
tetangga juga saling mengantarkan perbukaan sehingga antara kaum
muslimin terasa sekali kebersamaan dan kesatuan kita. Syahrrul Ukhuwah
adalah dimensi praktek yang dinyatakan bersamaan dengan pendidikan
jasmani dan ruhani di bulan Ramadhan.
Seiring dengan semua itu, maka semakin jelaslah bahwa Bulan Ramadhan disebut juga sebagai Bulan Ibadah karena
pada bulan ini kita banyak sekali melakukan ibadah-ibadah sunnah
disamping ibadah wajib seperti sholat sunnat dhuha, rawatib dan tarawih
ataupun qiyamullai serta tadarusan al-Ar’an. Bahkan dalam pengertian
yang lebih luas, dimana semua makhluk diciptakan Allah sebagai hambaNya,
maka semua aktivitas jasmani dan ruhani kita di Bulan Ramadhan dilatih
untuk selalu menyatakan kebiasaan-kebiasaan luhur bahwa semua aktivitas
kehidupan kita sejatinya adalah ibadah kepadaNya. Inilah dimensi
makrifat Ramadhan ketika Umat Islam memasuki ketakwaan sesungguhnya
sebagai tujuan dari diwajibkannya puasa (QS 2:183).
Untuk
menjadi manusia takwa, peningkatan kualitas kemanusiaan terjadi di
wilayah lahir maupun batin. Artinya dengan pemaknaan, pemahaman, ilmu
dan tindakan yang seimbang dengan Kehendak Allah. Dengan hati, akal, dan
perbuatan seluruh bagian tubuh manusia. Puasa Umat Islam di Bulan
Ramadhan, akhirnya memang bukan sekedar menahan lapar dan haus secara
harfiah. Namun, meliputi seluruh kenyataan diri kita sebagai makhluk
yang berjasad, berjiwa, dan diberi amanat Ilahi untuk mengungkapkan jati
diri kekhalifahanNya (kemampuannya untuk menerima amanat Pengetahuan
Tauhid).
Karenanya,
tolok ukur keberhasilan seseorang menjalankan puasa Ramadhan sebagai
manusia yang takwa justru akan terlihat bukan hanya saat puasa
dilaksanakan semata. Hasil puasa Ramadhan yang optimal dengan kiasan
1000 bulan, justru harus lebih banyak mempengaruhi perilaku manusia di
waktu sesudah puasa, yaitu 11 bulan ke depan sampai kematian tiba.
Penekanan dengan sisipan “harus” ini untuk mengingatkan kita supaya
jangan menjadi bodoh dan lalai kembali seolah-olah Umat Islam hanya
menjadi umat yang baik di bulan Ramadhan dan menjelang Iedul Fitri saja.
Suasana Ramadhan harus dapat disebarkan kedalam rentang waktu 11 bulan
kedepan setelah Ramadhan dan Iedul Fitri. Itulah sebenarnya Ladang
Maghfirah yang harus mulai kembali diolah terus menerus untuk ditanami
dengan amaliah kehidupan untuk menghasilkan buah-buah kehidupan yang
paripurna.
Ladang
Maghfirah adalah modal sekaligus peluang bagi manusia untuk kembali
sadar dan berjalan di jalan Shirathaal Mustaqiim dan sampai dengan
selamat di hadirat Allah SWT. Peluang ini berlaku bagi semua umat Islam
yang dewasa dan bertanggung jawab, yang jiwanya selama menjalani
kehidupan telah terkontaminasi oleh berbagai perbuatan yang tidak patut
dalam ukuran norma Iman dan Islam. Tidak ada batasan ketika peluang itu
dinyatakan saat Ramadhan yaitu bagi semua perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja ataupun tidak. Karena itu, di bulan Ramadhan yang
diwajibkan untuk berpuasa dengan tujuan menjadi takwa, maka jiwa Umat
Islam sesungguhnya “dapat” diperhalus kembali ke posisi fitri untuk
melangkah kembali ke masa depan dan menjalani kehidupan dengan cerapan
makna yang semakin meningkatkan kualitas kemanusiaannya (yaitu sebagai
manusia takwa).
Ramadhan,
kembali dan selalu akan kembali selama kita masih hidup. Dan selama
kita hidup pula, Allah SWT selalu menyediakan waktu ampunan bagi semua
manusia, khususnya Umat Islam, untuk berdekat-dekatan dengan keintiman
khusus yang disebut Bulan Ramadhan. Jadi, luruskanlah niat untuk
beribadah Ramadhan dengan totalitas kehambaan di hadapanNya, tertunduk
dan berserah diri padaNya dengan jujur guna meraih ketakwaan
sesungguhnya. Marhaban Ya Ramadhan, dalam kesempatan ini, saya sekaligus mohon maaf lahir dan batin kalau ada salah tulis atau salah kata.
Posting Komentar untuk "MAKNA DAN HIKMAH BULAN RAMADHAN"